FITRA JAYA SALEH

Blogs, Ternyata menulis itu menyenangkan. Apalagi bisa menulis sesuatu yang bisa memberikan manfaat terhadap diri sendiri dan orang lain. Telah datang perintah membaca kepada umat Islam, perintah yang tidak diturunkan untuk umat-umat sebelumnya..sedangkan menulis adalah salah satu turunan dari kewajiban membaca... "Sampaikanlah walau hanya satu ayat.", begitulah perintah nabi, dan menulis bisa menjadi sebuah sarana yang baik untuk mengaplikasikan perintah untuk menyampaikan... ---Tulabi---

Thursday, August 24, 2006

Surat Kepada Para Pembaharu

Assalamualaikum WR wb.

Amma Ba'du,
Surat ini adalah surat yang pernah saya tulis ketika masih di kampus kepada saudara-saudara yang sangat saya cintai disana. Kepada mereka yang Allah berikan sebuah kelebihan dalam kesempatan untuk dapat membaktikan diri kepada islam dan ummatnya.

Kami persembahkan surat ini kehadapan antum (anda) semua pengurus DEMA dan BEM/Senat , dengan keinginan yang sangat kuat untuk ikut memberi bimbingan kepada "umat" di kampus, yang urusan mereka telah Allah Swt bebankan ke pundak anda di zaman ini. Suatu bimbingan yang kiranya dapat mengarahkan semua masyarakat kampus diatas sebaik-baik jalan, Sebuah jalan yang dibangun oleh sebaik-baik sistem hidup, yang bersih dari kerancuan dan jauh dari ketidak pastian. dan jalan yang telah teruji oleh sejarah yang panjang.

Kami pun tidak sekali-kali mengharapkan apapun dari anda, cukuplah bahwa dengannya berarti kami telah menunaikan kewajiban dan mempersembahkan kepada anda sebuah nasihat. sungguh pahala Allah, Dialah yang lebih baik dan lebih kekal.

Ayyuhal Ikhwah yang sangat saya cintai, yang saat ini sedang mengemban amanah yang berat dari Allah Swt ini, Sungguh ketika kami menyeru, ada Qur'an ditangan kanan kami dan sunnah di tangan kiri kami, serta jejak kaum salaf yang saleh dari putra-putra terbaik umat ini adalah panutan kami.

Saat ini Allah Swt telah menyerahkan urusan dakwah di kampus ini terhadap antum, sehingga kemaslahatan urusan mereka hari ini semuanya berada di tangan antum. Sungguh amanah ini, untuk menjadi pengurus BEM dan DEMA bukanlah amanah yang ringan. Dahulu pernah berkata seorang pemimpin yang adil, " Seandainya seekor kambing di irak terpeleset kakinya, maka aku menganggap dirikulah yang harus bertanggungjawab di hadapan ALlah, mengapa aku tidak membuatkan jalan untuknya?".

Begitu pula ketika kita diilhami sebuah ungkapan bijak umar bin khathab " Saya sudah cukup senang jika dapat keluar dari dunia ini dengan impas: tidak mendapat dosa dan tidak pula diberi pahala".

Ayyuhal ikhwah,Sekali lagi Kami pun tidak akan sekali-kali mengharapkan apapun dari anda, cukuplah bahwa dengannya berarti kami telah menunaikan kewajiban dan mempersembahkan kepada anda sebuah nasihat. sungguh pahala Allah, dialah yang lebih baik dan lebih kekal.

Ada 3 hal sulit yang harus dilakukan saat ini oleh kita untuk kembali dapat menyempurnakan pemahaman tentang "amanah" ini,memperbaiki kinerja lembaga, serta Men-sistematiskan pemikiran dan juga pekerjaan kita.

Pertama, yang perlu kita lakukan adalah mencoba untuk melihat dengan jelas dan bersama-sama menyepakati agenda-agenda apa saja yang menjadi beban amanah kita saat ini,atau me-list kembali seluruh pekerjaan-pekerjaan kita baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pekerjaan melist agenda ini menjadi sangat penting untuk dilakukan dikarenakan waktu yang kita miliki selama menjadi pengurus pada umumnya hanyalah satu tahun, Sehingga dengan me-list inipun kita dapat membuat prioritas agenda mana saja diantara sekian banyak agenda yang ingin kita "bereskan" periode ini, karena sekali lagi kita paham bahwa satu tahun adalah waktu yang sangat pendek untuk bisa menyelesaikan semua agenda yang ada sehingga kita perlu untuk menentukan target agenda yang akan kita selesaikan. Panduan utama dalam melakukan prioritas agenda tentu saja akan kita letakkan pada dasar kemanfaatan, urgensi, dan juga waktu (Mendesak atau tidaknya).

Kedua, Lakukanlah Evaluasi. Dalam konteks ini, proses evaluasi dilakukan dengan harapan bahwa nantinya kita akan dapat melihat dengan jelas tentang hal-hal apa saja yang menjadi kelemahan dimasa lalu dan juga peluang perbaikan dimasa depan untuk setiap agenda pekerjaan yang telah kita list dan yang telah kita sepakati untuk di selesaikan bersama.

Ketiga, menyepakati bersama tentang langkah efektif yang akan kita ambil untuk mencapai tujuan kita. Menentukan apa yang akan kita lakukan ini menjadi agenda yang sangat penting sehingga menghindarkan kita dari kerja yang "Sporadis". Membantu kita untuk menstrukturkan langkah, mensinergiskan gerakan, sehingga akan menciptakan bentuk gerak yang harmonis, indah, dan jauh dari kekecawaan pribadi setiap penggerak roda-roda dakwah.

Pekerjaan awal yang panjang dan melelahkan memang, namun inilah konsekuensi logis yang harus kita ambil dan kita ikhlaskan. Sekali lagi, bahwa pekerjaan ini mungkin akan menjadi pekerjaan yang melelahkan dan kadang membosankan, namun pekerjaan ini adalah pekerjaan "pokok" yang harus diselesaikan diawal. Terkadang kita akan menemukan kebuntuan ketika menunaikan pekerjaan ini, namun janganlah sampai sekali-kali kebuntuan ini memaksa kita untuk menyerah dengannya, yang kita butuhkan ketika menemui kebuntuan ini hanyalah sedikit "istirahat" dan juga mendengarkan pendapat-pendapat orang lain, misalnya para pendahulu ataupun mungkin orang yang lebih memiliki pengalaman, dan kemudian kita akan kembali lagi dengan semangat yang baru dan air muka yang lebih ceria dengan kesegaran yang terpancar dari pemikiran dan ide-ide baru yang cemerlang.

Semoga bermanfaat,Semoga Allah Swt berkenan untuk menunjukkan kepada kita jalan kebenaran dan juga memberikan kepada kita kekuatan dan kemudahan untuk bisa mengikutinya. dan semoga Allah swt juga berkenan untuk menunjukkan kepada kita kebathilan dan memberikan juga kepada kita kekuatan dan kemudahan untuk menjauhinya.

Barakalallahu fiikum.

Wallahualam bishowab.

--- Tulabi---

Saturday, August 05, 2006

"Diantara Kita Dan Demokrasi"


Assalamualaikum.

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Qs An-Nisaa’:59)
Bismillah, Ba’da Tahmid wa Sholawat.

Tulisan ini adalah sebagai lanjutan dari tulisan ana sebelumnya “Bid’ahkah Berpartai” dan “Kekhalifaan Pentingkah?”, tulisan yang ingin dengannya ana bisa menjawab beberapa pertanyaan ikhwah melalui blog ini, semoga dapat menjadi penjelas sekaligus penerang kepada kita yang senantiasa mengikrarkan diri untuk berada di dalam barisan para da’i. Dan semoga Allah Tabaraka wa ta’ala memberikan kepada ana kemudahan dalam memahami din ini. Sesungguhnya perihal Demokrasi ini merupakan suatu permasalahan kontemporer (Aktual) didalam islam, perihal yang muncul belakangan, dan sesungguhnya pula telah banyak dibahas oleh banyak ulama. Ada berbagai pandangan yang telah disampaikan oleh mereka yang memiliki ilmu didalam permasalahan demokarsi ini, Insya Allah ana akan mencoba menggambarkan melalui tulisan ini beberapa hal yang menjadi pokok persoalan didalam pembahasan tentang demokrasi menurut pandangan Islam.
Sesungguhnya Al-Islam, Didalamnya telah tercakup segala hal, yang mengatur setiap segi perikehidupan manusia dengan memberikan pedoman yang menyeluruh dan tidak terpisah-pisah, yang mengandung nilai-nilai ilahiyah yang tidak akan pernah terkadaluarsa oleh zaman, kemuliaannya memuliakan manusia, cahayanya menerangi kegelapan hati, serta menjadi pedoman juga ukuran mutlak dalam urusan manusia. Tentang Demokrasi ini, ada sebuah Tesis menarik dari Abdul Qadim Zallum ,seorang tokoh gerakan Hizbut Tahrir yang menganjurkan untuk meninggalkan Demokrasi, serta mengharamkan apabila diambil atau juga menyebarluaskannya. Diantara pokok pemikiran beliau adalah dengan mengatakan bahwa Demokrasi bertentangan secara total dengan Islam baik dari segi kemunculannya, akidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan aturan yang membawahinya. Thesis beliau yang kemudian dibukukan ini cukup menarik untuk disimak beserta argument dan dalil yang beliau sampaikan.
Sementara ada juga sebuah buku yang ana gemari ketika masih kuliah dulu, ditulis oleh Anis Mata, Lc Sekretaris Jendral Partai Keadilan Sejahtera, yang berjudul “Menikmati Demokrasi”. Didalam buku kecil ini terdapat banyak sekali pemikiran-pemikiran beliau tentang demokrasi yang juga sangat menarik untuk diikuti. Salah satu ungkapan beliau untuk menggambarkan hubungan antara Demokrasi dan Islam adalah “Demokrasi dengan Islam itu bertolak belakang pada sisi yang sangat prinsip, namun demokrasi juga bersinggungan dengan Islam pada titik yang sangat prinsip”, ungkapan yang mengisyaratkan bahwa sebenarnya terdapat sisi-sisi dari demokrasi yang tertolak oleh islam kerena tidak sesuai, namun ada juga sisi-sisi dimana demokrasi itu diterima didalam Islam. Namun ana tidak ingin pada kesempatan ini mengajak antum untuk bersama membedah secara langsung kedua tulisan mereka, ana ingin mengajak antum untuk bersama melihat lebih dekat bagaimana persoalan demokrasi ini didalam optik Islam, agar memudahkan pembahasannya, tulisan ini secara garis besar ana membaginya secara implisit kedalam 2 pokok pemikiran, pertama yaitu bagaimana demokrasi ini diletakkan didalam pandangan rumah tangga Islam kita, sedang yang kedua adalah bagaimana sikap kita seharusnya terhadap demokrasi dalam tantangan dakwah saat ini.

Para ulama dan pemikir Islam didalam memandang persoalan Demokrasi ini bisa ana kelompokkan ke dalam 3 kelompok besar, Pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa Demokrasi dengan islam adalah sesuatu yang sangat berbeda dan tidak akan pernah bisa untuk disatukan dikarenakan perbedaan-perbedaan prinsip didalamnya. Pendukung Gerakan pemikiran ini salah satu contohnya adalah beliau Abdul Qadim Zallum yang telah ana sampaikan diatas, pemikiran ini muncul pada awalnya ketika terjadi gelombang gerakan konstitusional di Iran antara tahun 1905 hingga 1911. Didalam hal ini Muhammad Hussein Thabathaba'i mengutip surat Al-Mu’minuun ayat 71 “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”
Sedang kelompok yang kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa demokrasi itu berada didalam islam, karena keduanya sejalan dan memiliki prinsip-prinsip yang sama. Misalnya prinsip-prinsip demokrasi seperti Syura (Musyawarah, Qs Ali-Imran:159), adalah (Keadilan,Qs-Al-maidah:42,dll), Ijma (Konsensus), atau juga Ijtihad (Independent Reason),dll. Kesemuanya prinsip-prinsip ini adalah sama dengan apa yang digariskan didalam syariat.
Dan kelompok yang terakhir adalah mereka yang berpendapat bahwa didalam Demokrasi terdapat nilai-nilai yang sesuai dengan Islam, namun ada juga nilai-nilainya yang bertentangan dengan Islam, sebagaimana yang disampaikan Anis Mata, Lc didalam bukunya “Menikmati Demokrasi” yang ana sebutkan diatas. Salah satu contohnya adalah dengan apa yang disampaikan oleh Abul A'la Al-Maududi, pemikir dan pendiri gerakan Jamaat-i Islami di Pakistan, yang mengatakan bahwa didalam demokrasi sekuler Barat, pemerintahan dibentuk dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum. Sedangkan Demokrasi didalam Islam, katanya, juga memiliki wawasan yang mirip, tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa kalau di dalam sistem Barat suatu negara demokratis menikmati hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah digariskan oleh Hukum Ilahi. “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (al-A’râf: 54).
Lalu dimana pendapat pribadi ana.? Ana awali Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim “Allahumma Rabb Jibril, Mikail, Israfil. Yang menghamparkan langit serta bumi, mengetahui yang ghoib dan yang terang. Engkaulah yang memutuskan hukum diantara hamba-hamba-Mu terhadap apa yang mereka perselisihkan. Dengan Izin Mu, tunjukanlah kebenaran kepadaku, dalam perselisihan itu. Sesungguhnya Engkaulah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki”.
Semoga Allah Swt memberikan kepada ana pemahaman terhadap Din ini.. sesungguhnya ana selalu berusaha menghindarkan diri dari sifat ghuluw (berlebih-lebihan), dan berusaha termasuk tergolong kedalam ummatan wasatan (Umat pertengahan), berusaha untuk tidak berlebih-lebihan dan tidak juga mengurang-ngurangkan, pendapat ana lebih cendrung sebagaimana pendapat mereka yang mengatakan bahwa diantara demokrasi dan Islam ada kesamaan dan ada juga perbedaan diantara prinsip-prinsip keduanya. Kita bisa mengakui bahwa terdapat perbedaan didalamnya, maka seharusnya juga kita bersikap jujur kalau juga terdapat kesamaan diantara keduanya.
Agama dan Demokrasi memang sesuatu yang berbeda, agama berasal dari wahyu ilahi, sedang demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia, sehingga agama memiliki dialektika dan loginya sendiri, sedang demokrasipun memiliki logika dan dialektikanya sendiri pula. Namun menurut ana tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi, Selama nilai yang dibawa demokrasi tidak menjadi hukum tandingan atas hukum yang Allah turunkan, atau juga tidak melanggar batasan pagar syar’i yang digariskan oleh Allah Swt.

Diantara perbedaan dan persamaan Demokrasi dengan Islam adalah, Pertama, Musyawarah atau Syuro. Diantara Demokrasi dan Islam keduanya sama-sama mengakui prinsip dan cara yang sama dalam mengambil sebuah keputusan. Didalam kehidupan demokrasi kita mengenalnya dengan sebutan sidang atau rapat, sedang didalam islam prinsip ini dikenal dengan istilah Syuro. Namun selain memiliki kesamaan dalam prinsip musyawarah ini, keduanya juga memiliki perbedaan yang sangat prinsip. Didalam Islam, syuro ini tidak bisa dengan mudah diikuti oleh setiap orang, hanya mereka yang memang memiliki ilmu (ahli/ulama) tentang keputusan yang akan diambil dan kedua pelaksanaan syuro hanyalah digunakan untuk memutuskan permasalahan-permasalahan yang membutuhkan ijtihad, dan bukan permasalahan yang telah jelas ketentuannya didalam Al-Quran dan sunnah. Sedangkan didalam Demokrasi, Setiap orang memiliki hak bersuara yang sama, tidak memperdulikan siapa dia, seorang ahli (Ulama) atau hanya seorang biasa yang tak berilmu, didalam demokrasi liberal juga dibolehkan untuk membahas dan mengambil keputusan tentang permasalahan-permasalahan apa saja, bahkan permasalahan-permasalahan yang telah jelas ditetapkan hukum halal-haramnya oleh Allah Swt.
Kedua, Pengambilan keputusan. Didalam demokrasi kita mengenal adanya konsensus atau dalam islam kita juga mengenal ijma (Kesepakatan bersama). Ataupun proses pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Didalam islam pun kita mengenal sebuah cara untuk mengambil hukum (istimbath) berdasarkan suara terbanyak (Jumhur), maka keputusannya lebih kuat, namun sekali lagi keputusan-keputusan yang dibuat didalam Islam, bukanlah mengenai perihal-perihal yang telah jelas hukumnya didalam Al-qur’an dan As-sunnah, melainkan masalah-masalah yang membutuhkan ijtihad, Sedangkan didalam demokrasi, hal-hal yang telah jelas haram didalam Islam pun bisa menjadi halal asalkan didukung oleh suara terbanyak.
Ketiga, Pinsip kebebasan, didalam Islam pun kita mengenal prinsip ini (Al-Hurriyah). setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi Siapapun untuk mencegahnya. Didalam Demokrasi pun demikian, didalamnya mengenal kebebasan, namun dalam demokrasi liberal Barat, kebebasan yang diberikan tidak memiliki batas-batas yang jelas, dan dapat disalahgunakan dengan sangat mudah. Di negara-negara Barat, meskipun terdapat kebebasan, namun dalam banyak kasus ia dibarengi dengan tujuan-tujuan pencarian keuntungan materi dan hal-hal yang tak bernilai, dan yang jelas, bertentangan dengan kebaikan dan kemaslahatan hakiki masyarakat. Oleh karena itu kebebasan seperti ini dapat digunakan untuk hal-hal yang berlawanan dengan kepentingan rakyat, dan atas nama kebebasan, banyak sekali perbuatan jahat mendapatkan pembenaran.
Sebagaimana kita saksikan di Barat, sebagian perbuatan yang bertentangan dengan moral dan kemuliaan manusia, mendapatkan legalitas dan perlindungan hukum. Diantaranya dapat disebutkan, hubungan seks sejenis dan hubungan-hubungan seks illegal, kebebasan berpakaian sehingga masyarakat berpakaian seenaknya, dll di negara-negara barat tersebut.
Selain yang telah ana sebutkan masih ada juga prinsip-prinsip lain dari keduanya yang memiliki kemiripan tapi tak sama, seperti al-adalah (Keadilan), Al-Musawah (Kesetaraan), ataupun Mas’uliyyah (Tanggung jawab), tentang tanggung jawab (Mas’uliyyah) ini Ibn Taimiyah pernah mengatakan bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.
Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Sehingga dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Dari dasar inilah kemudian ana pribadi berpendapat bahwa seharusnya kita bisa bersikap lebih jujur dan bijak dalam melihat permasalahan ini, agar kita mengetahui dengan pasti bahwa sesungguhnya demokrasi telah membawa nilai-nilai yang bisa menghantarkan kita kepada penghianatan terhadap Allah Swt karena mengikuti hukum yang telah dibuat berdasarkan hawa nafsu, dan agar kita juga tidak menutup mata bahwa sesungguhnya dibalik ketertolakan demokrasi di mata Islam, Demokrasi juga memiliki persamaan yang mendasar dengan Al-Islam.
Setelah kita mengetahui bersama bagaimana kedudukan Demokrasi dalam pandangan Islam, maka tahapan kedua yang ana rasa seharusnya kita bicarakan adalah “Bagaimana sikap kita terhadap demokrasi dalam tantangan dakwah saat ini..” Bagaimana didalam konteks aktual dakwah dengan berbagai peluang dan tantangannya saat ini, dimanakah seharunya demokrasi ini diletakkan.
Ana memulainya dengan mengutip ucapan dari Sayyid Qutb, seorang tokoh gerakan Ihkwanul Muslimin Mesir yang pada akhirnya dihukum mati oleh rezim penguasa mesir saat itu, di tahun 1966. Beliau mengatakan bahwa “sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran, Dan bahwa syariat islam itu telah sangat lengkap sebagai suatu sistem moral dan hukum, sehingga tidak diperlukan legislasi yang lain.” Sehingga sebagaimana beliau ana pun berfikiran yang sama, bahwa sebagai seorang muslim kita wajib untuk menggunakan syariat islam sebagai panduan didalam kehidupan, menjadikan hukum-hukum Allah Swt sebagai dasar dari setiap keputusan, atau dengan bahasa yang lain, tentu saja kita akan memilih hukum syariat sebagai hukum utama dalam kehidupan bernegara, dibandingkan dengan menggunakan demokrasi. Ana kira ini sudah jelas bagi kita semua, sebagaimana telah di firmankan oleh Allah Swt didalam Kalam-Nya yang Suci “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs Al-Ahzab:36)
Dan sekarang yang menjadi pertanyaan besar yang pertama kepada kita bersama adalah “Lantas bagaimana dengan kondisi saat ini dimana pemerintahan kita menggunakan demokrasi sebagai “baju” pemerintahan dan bukanlah Islam..” apakah yang akan kita lakukan.?
Apakah kita harus “Bergerak” melakukan perubahan? Tentu saja dengan sangat tegas akan ana jawab, Iya. Bangsa ini memiliki mayoritas masyarakat muslim, sehingga sudah seharusnya diatur juga dengan menggunakan aturan-aturan Islam, dan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Islam yang berserah diri kepada Allah Swt, bersungguh-sungguh didalam memperjuangkan nasib rakyatnya, serta memiliki kapasitas keilmuan dan ketaqwaan yang baik disisi Allah Swt. Namun saat ini yang terjadi, bangsa ini dipimpin oleh mereka yang bersikap fobi terhadap Islam, tidak mementingkan apa yang menjadi kebutuhan umat, senantiasa mementingkan kepentingan pribadi, tidak peka terhadap penderitaan rakyat, dll. Apakah alasan-alasan ini masih belum cukup untuk membuat kita bangkit dan bergerak “membebaskan” umat dari keterbelakangan dan ketidakpahaman terhadap hak mereka..?
Maka yang menjadi pertanyaan besar selanjutnya bagi kita saat ini adalah? Bagaimana caranya agar kita dapat memiliki Islam sebagai aturan hidup dan mendapatkan pemimpin yang Islami..? Telah terjadi perbedaan pendapat diantara para pejuang dakwah negeri ini tentang bagaimana cara agar umat islam di negeri ini dapat memperoleh kembali hak-haknya. Untuk merealisasikan agar nilai2 Islam dapat ditanamkan di negara ini, dan untuk merealisasikan agar penerapan hukum bangsa ini sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah Swt, serta untuk merealisasikan kecintaan teradap Allah Swt, maka para tokoh-tokoh Islampun bergerak dan mengambil langkah untuk dapat merealisasikannya. Perbedaan gerak dan sikap pun terjadi dalam perlombaan merealisasikan cita-cita besar umat ini. Ada yang mengambil langkah ekstrim, ada yang mengambil gerakan bawah tanah, namun ada juga yang menggunakan pendekatan diplomatis agar dapat terlaksananya tujuan mulia ini, pilihan manakah yang sebaiknya kita pilih.?
Tentu saja pilihan yang kita ambil ini akan memberikan konsekuensi tanggungjawab kepada kita yang harus turut andil didalam perjuangan ini, serta tidak hanya diam melihat masyarakat yang semakin terpuruk dan tenggelam didalam derasnya banjir nilai-nilai liberal yang melanda bangsa ini.
Keputusan langkah apa yang harus diambil untuk dapat merealisasikan terciptanya nilai-nilai syariah di tanah Indonesia sudah seharusnya diambil dengan melalui pertimbangan-pertimbangan matang, tingkat prioritas masalah, serta disesuaikan dengan kondisi aktual yang ada. Keputusan yang diambil seharusnya dapat memberikan kemanfaatan yang besar dan bisa meminimalkan resiko yang mungkin dapat terjadi. Dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan inilah maka langkah yang paling relevan dan dapat memberikan kontribusi kemanfaatan yang nyata, serta memberikan resiko yang minim adalah dengan memasuki wilayah-wilayah pembuat keputusan, diantaranya adalah Legislatif (Parlemen) dan juga pemerintahan (Eksekutif), karena disanalah nasib umat ini ditentukan, disanalah aturan-aturan yang mengatur kehidupan umat islam bangsa ini dibuat, maka dari itu harus kita rebut dari mereka orang-orang yang anti terhadap islam, meraka yang tidak menyukai bila dakwah ini berkembang, dan kemudian kita serahkan urusan pembuatan keputusan umat kepada mereka yang berilmu dan berungguh-sungguh karena Allah Swt atau dengan istilah ana “Mengislamkan wilayah kekuasaan”. Ketika orang-orang Islam membiarkan dan menjauh dari parlemen, maka sesungguhnya tempat-tempat itu akan diisi oleh orang-orang yang belum tentu keislamannya, maka relakah kita menyerahkan urusan kita kepada mereka yang tidak mengerti.? Sebuah contoh kecil, dulu pembuat UU adalah orang sekuler dan anti terhadap islam, mereka melarang wanita islam untuk berjilbab sesuai dengan tuntunan Islam, namun lihatlah sekarang hasil perjuangan mereka yang berusaha merubah kebijakan di parlemen sana…sudah bisa kita lihat hasilnya sangat banyak perubahan yang bisa kita lihat saat ini, hampir disepanjang jalan, disekolah-sekolah, dikantor-kantor, telah dipenuhi oleh kaum muslimah yang tampak indah dengan gaun taqwanya.
Sebuah konsekuensi berat yang melekat pada keputusan untuk masuk kedaerah pembuat kebijakan (Parlemen), adalah bertemu dengan “Demokrasi”. Seperti sebuah momok yang besar yang harus dihadapi. Namun apabila menggunakan logika demokrasi bukankah demokrasi sendiri yang mengatakan bahwa keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak? Maka dengan memiliki orang-orang yang duduk di Parlemen dengan jumlah suara signifikan, maka Insya Allah, kita bisa membawa umat ini ketujuan yang sesuai dengan aturan Allah Swt. Apakah ada yang akan mengatakan “ah tidak mungkin itu akan terjadi”, maka sesungguhnya tidak seharusnya tidak seperti itu sikap kita, tidak seharusnya kita bersikap pesimis di dalam perjuangan dakwah, seharusnya kita bisa memberikan semangat kepada mereka-mereka kaum muslimin yang telah berijtihad melakukan perbaikan melalui parlemen, seharusnya kita bisa saling bahu-membahu mengantarkan negeri ini dan isinya kepada keridhoan Allah, dan bukanlah sikap saling menjatuhkan dan merendahkan.

Sesungguhnya kata demokrasi selama ini digunakan sebagai istilah yang melariskan (Seperti juga istilah Reformasi), masih akan terasa sulit kalau kita langsung menggunakan istilah2 islam dengan bahasa arab, bukankah yang terpenting adalah substansinya. Maka pekerjaan berat yang harus dilakukan para dai yang mendapatkan amanah di legislatif adalah bagaimana membuat substansi demokrasi seislam mungkin, toh “demokrasi” hanyalah sebuah istilah, sedang yang penting adalah substansi yang diimplementasikan. Lantas apakah kita akan mengatakan bahwa “ah, tu tidak mungkin, bagaimana bisa…”. Pekerjaan “Mengislamkan demokrasi” ini memang bukan pekerjaan yang mudah, namun inilah yang harus dilakukan. Ada tahapan-tahapan yang harus kita lalui untuk dapat memiliki sebuah Negara yang meletakkan Islam sebagai landasan hukum, ada persiapan-persiapan yang harus kita lakukan untuk mencapai kesana, semuanya tidak bisa dicapai secara instant, namun harus melalui proses dan tahapan-tahapan yang seharusnya dipersiapkan. Diantaranya tahapan-tahapan ini : Konsep kenegaraan yang harus disiapkan, proses pembelajaran dan penyadaran masyarakat tentang politik bersih ala islam, menyiapkan ustadz-ustadz yang memiliki kemampuan negarawan, menyiapkan sistem pemerintahan, dan lain sebagainya.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali Imran:159)
Sebagaimana yang telah Allah Swt sampaikan didalam Surat Ali Imran diatas, Maka didalam urusan duniawi, sudah seharusnya kita berkap lemah lembut terhadap mereka kaum muslimin yang masih belum memahami tentang hakikat Islam ini, Seandainya kita bersikap keras hati serta kasar niscaya akan membuat mereka lari dan menghindarkan diri dari dakwah kita, sesungguhnya dakwah ini adalah seruan simpati, seruan yang mengajak dengan hikmah bukan dengan menghakimi, yang mengajak kepada kebenaran dengan kelemahlembutan bukan dengan kekerasan hati, serta Musyawarahkanlah hal ini dengan mereka sebaik-baiknya, sampai Allah Swt mentakdirkan Islam ini tegak dan tiada lagi Fitnah dimuka bumi ini.
Sesungguhnya Ini adalah pekerjaan besar bagi kita, Kerja Bakti yang seharusnya diikuti oleh setiap warga muslim, saling Bantu membantu membersihkan kotoran negative barat dan kekafiran dari lingkungan kampung islam kita, agar keluarga kita, anak-anak kita bisa terbebas dari penyakit-prnyakit sekuler yang mewabah dengan cepat. Bersama-sama memberikan semangat untuk terus bergerak, saling ingat-mengingatkan dalam menapaki langkah-langkah dalam kebenaran. Semoga Allah Tabaraka Wa ta’ala memberikan kepada kita kebersihan hati, menganugrahkan kepada kita ikatan ukhuwah yang kuat diatas aqidah Islam, serta Semoga Allah memberkahi kita didalam setiap aktivitas kita.

Barakallahufiikum.

Al fakir ilallah.

--Tulabi—

Tanah Melayu, 6 Agustus 2006

Wednesday, August 02, 2006

Kekhalifaan Pentingkah.?

Assalamualaikum.

Alhamdulillah, sudah memasuki bulan Agustus, tidak lama lagi insya Allah kita akan memasuki kembali bulan Ramadhan “Allahumma baariklanaa fii rajaba wa sya’ban, wa balighnaa fii ramadhan”. Di Blog ini ada sebuah keinginan besar didalam hati ini untuk menuliskan beberapa hal tentang Demokrasi didalam pandangan Islam, melanjutkan tulisan ana sebelumnya “Bid’ahkah Berpartai”. Bagaimana Demokrasi itu di “duduk”kan diantara kita, dan mampukah Demokrasi merebut hati kaum muslimin.


Namun sebelum kita berbicara perihal Demokrasi, terlebih dahulu ana ingin mengajak antum untuk berbicara tentang pentingnya keberadaan khalifah Islam di muka bumi ini, dan bagaimana hukum tegaknya sebuah khalifah. Perbincangan ini ana rasa akan sangat membantu menyamakan persepsi kita ketika nanti tiba saatnya kita berbicara tentang Demokrasi.

Dalam tulisan kali ini, ana menggunakan metode yang lain dan baru dari tulisan-tulisan ana sebelumnya, tulisan ini diambil langsung dari sebuah diskusi ana dengan beberapa orang ikhwan beberapa waktu yang lalu dalam sebuah forum diskusi. Kita misalkan saja para ikhwan yang bertanya kepada ana kita namai Mr Fulan.


Mr Fulan Bertanya :
Yang saya ingin tanyakan, sebenarnya langkahnya gimana bisa membuat negeri impian begitu? Kan perlu diingat, hampir semua birokrat Indonesia masih peninggalan OrBa(yang katanya 70-80% korup, atau bahkan lebih), lah koq apa iya tiba2 misal indonesia diqodar jadi kekhilafahan, langsung bless BBM murah, negara impian dalam waktu cepat, begitu? Apa caranya mengganti ratusan ribu atau jutaan pegawai negeri menjadi orang2 yang amanah di dalam pemerintahan, atau bagaimana?


Jawab: Bismillah, Saudaraku Fulan, ana berfikir, antum sangat cermat dalam melihat masalah ini.

Daulah islamiyah sesungguhnya adalah cita-cita terbesar umat ini, Kenapa ? karena dengan adanya daulah (negara) yang berafiliasi penuh terhadap Islam, maka umat ini akan memiliki penguasa-penguasa dan para pemimpin muslim yang pikiran dan perhatiannya hanya akan terfokus penuh untuk membawa umat-umatnya agar lebih dekat dengan Allah Swt. Kerena dengan memiliki Daulah Islamiyyah, maka hak-hak kaum muslimin akan terjaga,karena dengan memiliki daulah islamiyah, maka setiap muslim (Dan juga non muslim) akan memiliki kebebasan untuk beribadah kepada tuhannya tanpa dihalang-halangi, dan yang lain sebagainya.

Namun harus kita ingat akhi, bahwa hanya dengan daulah saja, tidak dengan sendirinya akan menjamin islam ini akan tegak. Melainkan melalui pemberian pemahaman islam yang sempurna kepada masyarakat, dan melalui pembentukan kepribadian islam terhadap umat, serta pembinaan yang terus menerus terhadap umatlah yang dapat menegakkan islam ini. Telah banyak sejarah pemerintahan atas nama Islam yang kita lihat ternyata bersikap tidak Islam.

Sehingga yang bisa kita simpulkan, bahwa dengan memiliki daulah (Negara) islamiyah maka kita akan memiliki semacam alat dan sarana yang memudahkan kita untuk menanamkan nilai-nilai islam melalui kekuasaan yang dimiliki. Namun, daulah islamiyah ini tidak akan dapat memberikan kontribusi apa-apa terhadap islam ketika tarbiyyah (Pembinaan) terhadap umat tidak dilakukan.

Mr Fulan :
Berarti saya mengambil kesimpulan bahwa sebelum masa daulah(pra-daulah), yang harus getol dilakukan adalah tarbiyyah/pembinaan ummat dulu, lalu bisa muncul daulah untuk mengontrol negara melalui kekuasaan yang islami.


Jawab: Tarbiyyah ataupun pembinaan juga takwiniyyah atau pembentukan pribadi muslim itu waktunya tidak tergantung apakah harus sebelum daulah ada ataukah sesudah daulah berdiri, Pembinaan terhadap diri kita sendiri dan kepada masyarakat ini dilakukan setiap masa, kapan saja, dan terus menerus. sehingga orang-orang yang belum memahami tentang islam akan menjadi tahu dan paham. kemudian orang-orang yang telah paham pun akan tetap istiqomah.

Mr Fulan :
Pertanyaan saya selanjutnya :1.Tarbiyyah terhadap ummat dari segi agama saja atau juga pemberdayaan ekonomi(yang mungkin ingin mencapai ekonomi islami)?


Jawab: Yang dimaksud dengan Islam yang Kaffah adalah islam yang menyeluruh (Muamalah/Ekonomi pun termasuk didalamnya), tidak mengambil sebagian syariat dan meninggalkan sebagian yang lain. Sehingga Tarbiyyah yang dilakukanpun memiliki tujuan supaya Kaffah ini. Tarbiyyah dilakukan pada semua sisi manusia, sedang Manusia itu sendiri tidak hanya terdiri akal saja atau Ruh saja atau hanya tubuh saja. Tapi ketiganya yang harus dibina secara bersamaan tanpa menghilangkan satu unsur sekalipun.

Telah kita pahami bersama bahwa manusia diciptakan dengan tujuan-tujuan tertentu yang Allah Swt tentukan, diantaranya agar manusia itu beribadah kepada Allah (Qs.Adz-Dzariyat:56), Agar manusia menjadi khalifatul fil arrdi (Pemimpin dimuka bumi) untuk melakukan perbaikan, dan untuk mengajak manusia kepada yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar (Ali-imran:104). Maka manusia sebagai mahluk memiliki tugas dan tanggung jawab kepada Allah Swt yang telah menciptakannya, dan juga tugas terhadap bumi ini (juga manusia didalamnya) untuk memakmurkannya (Berusaha memperbaiki dan mencegah kerusakan oleh manusia) . Sehingga seorang muslim menjadi tidak bijak apabila dirinya hanya memperhatikan hubungannya dengan Allah Swt saja dan mengabaikan tanggungjawabnya kepada manusia yang lain, atau begitupula sebaliknya seorang muslim menjadi tidak bijak ketika hanya memperhatikan hubungannya dengan manusia saja tanpa memperdulikan tanggungjawabnya kepada Allah Swt. Sehingga yang bisa kita simpulkana adalah bahwa Kehidupan seorang muslim haruslah senantiasa seimbang (Tawazun).

Mr Fulan:
2. Bagaimana proses pencapaian menuju daulah? Apakah daulah berdiri lewat jalur konstitusionil atau lewat jalur "revolusi"?


Jawab: Sebelumnya kita harus pahami kembali, Adanya Daulah Islamiyyah tidak dengan sendirinya akan memperbaiki, namun faktor pembinaan berkelanjutan dan dakwah yang sistematislah yang akan memperbaiki masyarakat. Walau ada yang namanya daulah islamiyyah namun didalamnya tidak terdapat dakwah dan nasihat, maka akan sama saja karena tidak akan dapat memberikan kontribusi apa-apa.

Kemudian ada perbedaan dari para pejuang dakwah tentang cara harus membangun daulah, ada yang berpendapat harus melalui revolusi frontal dan ada yang berpendapat lebih baik melalui jalur konstitusional Formal. Kalau pendapat ana pribadi, ana mendasarkan keputusan untuk memilih jalan membangun daulah atas dua dasar. yang pertama bahwa ana lebih memprioritaskan substansi dari pada simbol. dan yang kedua, Dalam urusan duniawi suatu keputusan yang kita ambil haruslah kita perhitungkan manakah yang lebih besar, apakah manfaat ataukah mudhoratnya. kalau suatu keputusan itu manfaatnya lebih besar, maka kita harus mengambilnya dan mengenyampingkan resiko mudhorot yang kecil tadi, begitu pula sebaliknya.apabila suatu keputusan unsur mudhoratnya lebih besar, maka harus kita tinggalkan, walaupun didalamnya terdapat sedikit manfaat.

Kemudian secara Jujur berdasarkan kedua prinsip diatas, maka ana pribadi memilh untuk melalui jalur konstitusional, walaupun disana juga ada resikonya (seperti bersentuhan dengan hukumnya produk manusia ataupun demokrasi, bukan kita harus mengikutinya, namun berusaha mendekatkannya dengan syariat Allah Swt sedekat mungkin), namun resiko ini lebih kecil dibandingkan resiko yang akan kita ambil apabila melalui revolusi frontal.

Mr Fulan :
3. Apakah kontrol negara daulah atas rakyatnya nanti(baca:indonesia)akan memilih jalur yang represif atau bagaimana, karena belum tentu penduduk indonesia sudah 100%(muslimnya)terbina lewat ideologi yang diusung pemerintahnya.


Jawab: Harus kita sadari bahwa agama ini bukanlah paksaan, tapi hanya ajakan. Sehingga Daulah islamiyah nanti tidak akan memberikan jaminan bahwa setiap orang akan mengikuti islam. kita bisa lihat, bahkan di Jaman rasulullah sekalipun ketika dipimpin langsung oleh rasulullah, juga masih banyak juga orang yang munafik dan kafir, karena begitulah Sunnatullah yang telah diatur.

Mr Fulan :
Lalu Umat Islam yang mana yang bercita-cita Daulah Islamiyah?. Fakta menunjukkan bahwa mayoritas 'umat Islam' negeri ini tidak menginginkannya. Mengapa?


Jawab: Pertanyaan Mr Fulan ini ada dua. Yang pertama,

Umat Islam yang mana yang bercita-cita Daulah Islamiyah?

Pertanyaan ini bisa saja ana balik bertanya, lalu umat islam yang mana yang tidak bercita-cita daulah islamiyah? Tapi memang ana akui, di Indonesia mayoritas masyarakat islam kita adalah islam kultural, yang sejak dilahirkan sudah berlebel Islam. dan yang kedua karena memang dakwah itu senantiasa sedikit pengikutnya, sehingga kalau hanya ada sedikit saja dari orang Islam yang menginkan adanya daulah, maka ana kira itu sunnatullah.

Dan pertanyaan yang kedua,

Mengapa?

Mengapa kita harus berdaulah Islamiyah? Semoga ana bisa memberikan sedikit gambaran. Dimulai dari Definisi daulah Islamiyah, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia (satu untuk sedunia) untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Apakah ada dasar syar'inya?

"Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…” (Qs. Ali-’Imraan: 103).

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” (Qs. An-Nisaa`: 59).

Atau dalil hadits dari Abdullah bin Umar meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, nescaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].

Sedang Rasulullah Saw pernah menyampaikan “Barangsiapa mendatangi kalian --sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah)-- dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jemaah kalian, maka bunuhlah dia!” [HR. Muslim].

Atau juga didalam riwayat yang lain, Rasulullah menyampaikan “Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR. Muslim].

Atau juga “Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].

Nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah di atas menegaskan adanya kewajiban bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam –bukan atas dasar kebangsaan atau yang lain— di bawah satu kepemimpinan,yaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’i bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, yakni hukuman mati.

Semoga bisa memberikan sebuah gambaran bahwa setiap muslim memiliki kewajiban untuk menuju kekhalifaan islam, sehingga setiap muslim akan dapat disatukan melalui khalifah yang ditaati karena Allah, dan bisa menghindarkan dari perpecahan umat.

Mr Fulan :
Saya cukup puas atas jawaban akhi, namun untuk yang ketiga, saya sebenarnya menekankan pada Muslim yang harokah/firqoh/pemahaman/ideologi Islamnya berbeda dengan yang diusung penguasa. Misal yang berkuasa bermanhaj salaf, yang klenik kan di Indonesia masih banyak, bagaimana nanti daulah Islamiyah bertindak atas mereka, saya rasa itu yang saya ingin ketahui. terima kasih.


Apa yang disampaikan oleh akhi Fulan adalah benar adanya, yang seperti ini (Berbeda pendapat antara penguasa dan rakyat) memang bukan hal yang luar biasa. DI Jaman para khulafa ar-rasyidin pun sudah banyak ternyadi, sampai-sampai kita mengenal munculnya golongan mu'tazilah. Di dalam Al-Quran, Allah Swt menyampaikan “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” (Qs. An-Nisaa`: 59).

Yang pertama, hal ini berarti. Allah mewajibkan Kita agar taat kepada para pemimpin, selama pemimpin ini taat kepada Allah dan Rasulnya. Karena tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah Swt.

Sedang yang kedua, ada sebuah kaidah syar'iah bahwa “Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya.” Misal, ana memberi contoh. Wudhu, adalah sesuatu yang sunat hukumnya. Namun wudhu akan menjadi wajib ketika kita akan sholat, sebab syarat sah sholat adalah wudhu, sehingga dalam hal ini hukum wudhu berubah menjadi wajib. Dan begitu pula perintah wajib taat kita terhadap pemimpin, maka memiliki pemimpin (Yang taat kepada Allah Swt) pun menjadi sesuatu yang wajib.

Para sahabat juga bersepakat tentang pentingnya pengangkatan khalifah ini, nampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebahagian di antaranya justeru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya.

Berarti dapat kita simpulkan bahwa, mengangkat khlalifah untuk memimpin adalah wajib. Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka.” [HR. Muslim].

Kemudian apa yang kita lakukan ketika berbeda pendapat dengan khalifah? Bersabar dan menasihati dengan cara-cara yang baik dan sesuai dengan jalur hukum yang ada, selama pemimpin tidak memerintahkan untuk maksiat kepada Allah. Dan diharamkan untuk keluar dari jama'ah atau menyatakan memisahkan diri dari khalifah. Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Muslim].

Didalam khalifah Islam, misalkan pemerintah telah menetapkan sautu mazhab sebagai landasan hukum Negara tersebut (misal, MAzhab Hanafi yang ditetapkan) maka bukan berarti semua penduduk negaranya harus dan wajib mengikuti mazhab yang diakui pemerintah. Setiap orang bebas dalam kehidupan pribadinya memilih pendapatnya masing-masing tentang suatu ketentuan hukum Islam, namun misalnya didalam putusan pengadilan atau perihal kenegaraan, maka yang akan digunakan adalah mazhab yang dipilih pemerintah (Misal tadi Hanafi), dan apabila kita memiliki pendapat yang mengikuti mazhab selain hanafi maka menjadi wajib bagi kita untuk mentaati keputusan pengadilan, walaupun keputusan pengadilan tersebut dengan dasar mazhab Hanafi.

Sebagai catatan tambahan yang harus diingat, apa yang disampaikan diatas adalah kewajiban kita terhadap khalifah (Pemerintahan) islam, Bagaimana dengan konteks ketaatan di Indonesia?hal ini yang menjadi perbedaan diantara para pejuang dakwah, yang melatari perbedaan apakah harus membuat daulah lewat revolusi frontal atau melalui konstitusi Formal, seperti yang sudah kita bicarakan diatas, Dan Insya Allah kita akan melanjutkan topik ini dengan tema selanjutnya “Diantara Kita dan Demokrasi”

Wallahualambishowab.


---Tulabi---

Pekanbaru, 3 Agustus 2006