FITRA JAYA SALEH

Blogs, Ternyata menulis itu menyenangkan. Apalagi bisa menulis sesuatu yang bisa memberikan manfaat terhadap diri sendiri dan orang lain. Telah datang perintah membaca kepada umat Islam, perintah yang tidak diturunkan untuk umat-umat sebelumnya..sedangkan menulis adalah salah satu turunan dari kewajiban membaca... "Sampaikanlah walau hanya satu ayat.", begitulah perintah nabi, dan menulis bisa menjadi sebuah sarana yang baik untuk mengaplikasikan perintah untuk menyampaikan... ---Tulabi---

Saturday, August 05, 2006

"Diantara Kita Dan Demokrasi"


Assalamualaikum.

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Qs An-Nisaa’:59)
Bismillah, Ba’da Tahmid wa Sholawat.

Tulisan ini adalah sebagai lanjutan dari tulisan ana sebelumnya “Bid’ahkah Berpartai” dan “Kekhalifaan Pentingkah?”, tulisan yang ingin dengannya ana bisa menjawab beberapa pertanyaan ikhwah melalui blog ini, semoga dapat menjadi penjelas sekaligus penerang kepada kita yang senantiasa mengikrarkan diri untuk berada di dalam barisan para da’i. Dan semoga Allah Tabaraka wa ta’ala memberikan kepada ana kemudahan dalam memahami din ini. Sesungguhnya perihal Demokrasi ini merupakan suatu permasalahan kontemporer (Aktual) didalam islam, perihal yang muncul belakangan, dan sesungguhnya pula telah banyak dibahas oleh banyak ulama. Ada berbagai pandangan yang telah disampaikan oleh mereka yang memiliki ilmu didalam permasalahan demokarsi ini, Insya Allah ana akan mencoba menggambarkan melalui tulisan ini beberapa hal yang menjadi pokok persoalan didalam pembahasan tentang demokrasi menurut pandangan Islam.
Sesungguhnya Al-Islam, Didalamnya telah tercakup segala hal, yang mengatur setiap segi perikehidupan manusia dengan memberikan pedoman yang menyeluruh dan tidak terpisah-pisah, yang mengandung nilai-nilai ilahiyah yang tidak akan pernah terkadaluarsa oleh zaman, kemuliaannya memuliakan manusia, cahayanya menerangi kegelapan hati, serta menjadi pedoman juga ukuran mutlak dalam urusan manusia. Tentang Demokrasi ini, ada sebuah Tesis menarik dari Abdul Qadim Zallum ,seorang tokoh gerakan Hizbut Tahrir yang menganjurkan untuk meninggalkan Demokrasi, serta mengharamkan apabila diambil atau juga menyebarluaskannya. Diantara pokok pemikiran beliau adalah dengan mengatakan bahwa Demokrasi bertentangan secara total dengan Islam baik dari segi kemunculannya, akidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan aturan yang membawahinya. Thesis beliau yang kemudian dibukukan ini cukup menarik untuk disimak beserta argument dan dalil yang beliau sampaikan.
Sementara ada juga sebuah buku yang ana gemari ketika masih kuliah dulu, ditulis oleh Anis Mata, Lc Sekretaris Jendral Partai Keadilan Sejahtera, yang berjudul “Menikmati Demokrasi”. Didalam buku kecil ini terdapat banyak sekali pemikiran-pemikiran beliau tentang demokrasi yang juga sangat menarik untuk diikuti. Salah satu ungkapan beliau untuk menggambarkan hubungan antara Demokrasi dan Islam adalah “Demokrasi dengan Islam itu bertolak belakang pada sisi yang sangat prinsip, namun demokrasi juga bersinggungan dengan Islam pada titik yang sangat prinsip”, ungkapan yang mengisyaratkan bahwa sebenarnya terdapat sisi-sisi dari demokrasi yang tertolak oleh islam kerena tidak sesuai, namun ada juga sisi-sisi dimana demokrasi itu diterima didalam Islam. Namun ana tidak ingin pada kesempatan ini mengajak antum untuk bersama membedah secara langsung kedua tulisan mereka, ana ingin mengajak antum untuk bersama melihat lebih dekat bagaimana persoalan demokrasi ini didalam optik Islam, agar memudahkan pembahasannya, tulisan ini secara garis besar ana membaginya secara implisit kedalam 2 pokok pemikiran, pertama yaitu bagaimana demokrasi ini diletakkan didalam pandangan rumah tangga Islam kita, sedang yang kedua adalah bagaimana sikap kita seharusnya terhadap demokrasi dalam tantangan dakwah saat ini.

Para ulama dan pemikir Islam didalam memandang persoalan Demokrasi ini bisa ana kelompokkan ke dalam 3 kelompok besar, Pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa Demokrasi dengan islam adalah sesuatu yang sangat berbeda dan tidak akan pernah bisa untuk disatukan dikarenakan perbedaan-perbedaan prinsip didalamnya. Pendukung Gerakan pemikiran ini salah satu contohnya adalah beliau Abdul Qadim Zallum yang telah ana sampaikan diatas, pemikiran ini muncul pada awalnya ketika terjadi gelombang gerakan konstitusional di Iran antara tahun 1905 hingga 1911. Didalam hal ini Muhammad Hussein Thabathaba'i mengutip surat Al-Mu’minuun ayat 71 “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”
Sedang kelompok yang kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa demokrasi itu berada didalam islam, karena keduanya sejalan dan memiliki prinsip-prinsip yang sama. Misalnya prinsip-prinsip demokrasi seperti Syura (Musyawarah, Qs Ali-Imran:159), adalah (Keadilan,Qs-Al-maidah:42,dll), Ijma (Konsensus), atau juga Ijtihad (Independent Reason),dll. Kesemuanya prinsip-prinsip ini adalah sama dengan apa yang digariskan didalam syariat.
Dan kelompok yang terakhir adalah mereka yang berpendapat bahwa didalam Demokrasi terdapat nilai-nilai yang sesuai dengan Islam, namun ada juga nilai-nilainya yang bertentangan dengan Islam, sebagaimana yang disampaikan Anis Mata, Lc didalam bukunya “Menikmati Demokrasi” yang ana sebutkan diatas. Salah satu contohnya adalah dengan apa yang disampaikan oleh Abul A'la Al-Maududi, pemikir dan pendiri gerakan Jamaat-i Islami di Pakistan, yang mengatakan bahwa didalam demokrasi sekuler Barat, pemerintahan dibentuk dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum. Sedangkan Demokrasi didalam Islam, katanya, juga memiliki wawasan yang mirip, tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa kalau di dalam sistem Barat suatu negara demokratis menikmati hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah digariskan oleh Hukum Ilahi. “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (al-A’râf: 54).
Lalu dimana pendapat pribadi ana.? Ana awali Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim “Allahumma Rabb Jibril, Mikail, Israfil. Yang menghamparkan langit serta bumi, mengetahui yang ghoib dan yang terang. Engkaulah yang memutuskan hukum diantara hamba-hamba-Mu terhadap apa yang mereka perselisihkan. Dengan Izin Mu, tunjukanlah kebenaran kepadaku, dalam perselisihan itu. Sesungguhnya Engkaulah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki”.
Semoga Allah Swt memberikan kepada ana pemahaman terhadap Din ini.. sesungguhnya ana selalu berusaha menghindarkan diri dari sifat ghuluw (berlebih-lebihan), dan berusaha termasuk tergolong kedalam ummatan wasatan (Umat pertengahan), berusaha untuk tidak berlebih-lebihan dan tidak juga mengurang-ngurangkan, pendapat ana lebih cendrung sebagaimana pendapat mereka yang mengatakan bahwa diantara demokrasi dan Islam ada kesamaan dan ada juga perbedaan diantara prinsip-prinsip keduanya. Kita bisa mengakui bahwa terdapat perbedaan didalamnya, maka seharusnya juga kita bersikap jujur kalau juga terdapat kesamaan diantara keduanya.
Agama dan Demokrasi memang sesuatu yang berbeda, agama berasal dari wahyu ilahi, sedang demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia, sehingga agama memiliki dialektika dan loginya sendiri, sedang demokrasipun memiliki logika dan dialektikanya sendiri pula. Namun menurut ana tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi, Selama nilai yang dibawa demokrasi tidak menjadi hukum tandingan atas hukum yang Allah turunkan, atau juga tidak melanggar batasan pagar syar’i yang digariskan oleh Allah Swt.

Diantara perbedaan dan persamaan Demokrasi dengan Islam adalah, Pertama, Musyawarah atau Syuro. Diantara Demokrasi dan Islam keduanya sama-sama mengakui prinsip dan cara yang sama dalam mengambil sebuah keputusan. Didalam kehidupan demokrasi kita mengenalnya dengan sebutan sidang atau rapat, sedang didalam islam prinsip ini dikenal dengan istilah Syuro. Namun selain memiliki kesamaan dalam prinsip musyawarah ini, keduanya juga memiliki perbedaan yang sangat prinsip. Didalam Islam, syuro ini tidak bisa dengan mudah diikuti oleh setiap orang, hanya mereka yang memang memiliki ilmu (ahli/ulama) tentang keputusan yang akan diambil dan kedua pelaksanaan syuro hanyalah digunakan untuk memutuskan permasalahan-permasalahan yang membutuhkan ijtihad, dan bukan permasalahan yang telah jelas ketentuannya didalam Al-Quran dan sunnah. Sedangkan didalam Demokrasi, Setiap orang memiliki hak bersuara yang sama, tidak memperdulikan siapa dia, seorang ahli (Ulama) atau hanya seorang biasa yang tak berilmu, didalam demokrasi liberal juga dibolehkan untuk membahas dan mengambil keputusan tentang permasalahan-permasalahan apa saja, bahkan permasalahan-permasalahan yang telah jelas ditetapkan hukum halal-haramnya oleh Allah Swt.
Kedua, Pengambilan keputusan. Didalam demokrasi kita mengenal adanya konsensus atau dalam islam kita juga mengenal ijma (Kesepakatan bersama). Ataupun proses pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Didalam islam pun kita mengenal sebuah cara untuk mengambil hukum (istimbath) berdasarkan suara terbanyak (Jumhur), maka keputusannya lebih kuat, namun sekali lagi keputusan-keputusan yang dibuat didalam Islam, bukanlah mengenai perihal-perihal yang telah jelas hukumnya didalam Al-qur’an dan As-sunnah, melainkan masalah-masalah yang membutuhkan ijtihad, Sedangkan didalam demokrasi, hal-hal yang telah jelas haram didalam Islam pun bisa menjadi halal asalkan didukung oleh suara terbanyak.
Ketiga, Pinsip kebebasan, didalam Islam pun kita mengenal prinsip ini (Al-Hurriyah). setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi Siapapun untuk mencegahnya. Didalam Demokrasi pun demikian, didalamnya mengenal kebebasan, namun dalam demokrasi liberal Barat, kebebasan yang diberikan tidak memiliki batas-batas yang jelas, dan dapat disalahgunakan dengan sangat mudah. Di negara-negara Barat, meskipun terdapat kebebasan, namun dalam banyak kasus ia dibarengi dengan tujuan-tujuan pencarian keuntungan materi dan hal-hal yang tak bernilai, dan yang jelas, bertentangan dengan kebaikan dan kemaslahatan hakiki masyarakat. Oleh karena itu kebebasan seperti ini dapat digunakan untuk hal-hal yang berlawanan dengan kepentingan rakyat, dan atas nama kebebasan, banyak sekali perbuatan jahat mendapatkan pembenaran.
Sebagaimana kita saksikan di Barat, sebagian perbuatan yang bertentangan dengan moral dan kemuliaan manusia, mendapatkan legalitas dan perlindungan hukum. Diantaranya dapat disebutkan, hubungan seks sejenis dan hubungan-hubungan seks illegal, kebebasan berpakaian sehingga masyarakat berpakaian seenaknya, dll di negara-negara barat tersebut.
Selain yang telah ana sebutkan masih ada juga prinsip-prinsip lain dari keduanya yang memiliki kemiripan tapi tak sama, seperti al-adalah (Keadilan), Al-Musawah (Kesetaraan), ataupun Mas’uliyyah (Tanggung jawab), tentang tanggung jawab (Mas’uliyyah) ini Ibn Taimiyah pernah mengatakan bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.
Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Sehingga dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Dari dasar inilah kemudian ana pribadi berpendapat bahwa seharusnya kita bisa bersikap lebih jujur dan bijak dalam melihat permasalahan ini, agar kita mengetahui dengan pasti bahwa sesungguhnya demokrasi telah membawa nilai-nilai yang bisa menghantarkan kita kepada penghianatan terhadap Allah Swt karena mengikuti hukum yang telah dibuat berdasarkan hawa nafsu, dan agar kita juga tidak menutup mata bahwa sesungguhnya dibalik ketertolakan demokrasi di mata Islam, Demokrasi juga memiliki persamaan yang mendasar dengan Al-Islam.
Setelah kita mengetahui bersama bagaimana kedudukan Demokrasi dalam pandangan Islam, maka tahapan kedua yang ana rasa seharusnya kita bicarakan adalah “Bagaimana sikap kita terhadap demokrasi dalam tantangan dakwah saat ini..” Bagaimana didalam konteks aktual dakwah dengan berbagai peluang dan tantangannya saat ini, dimanakah seharunya demokrasi ini diletakkan.
Ana memulainya dengan mengutip ucapan dari Sayyid Qutb, seorang tokoh gerakan Ihkwanul Muslimin Mesir yang pada akhirnya dihukum mati oleh rezim penguasa mesir saat itu, di tahun 1966. Beliau mengatakan bahwa “sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran, Dan bahwa syariat islam itu telah sangat lengkap sebagai suatu sistem moral dan hukum, sehingga tidak diperlukan legislasi yang lain.” Sehingga sebagaimana beliau ana pun berfikiran yang sama, bahwa sebagai seorang muslim kita wajib untuk menggunakan syariat islam sebagai panduan didalam kehidupan, menjadikan hukum-hukum Allah Swt sebagai dasar dari setiap keputusan, atau dengan bahasa yang lain, tentu saja kita akan memilih hukum syariat sebagai hukum utama dalam kehidupan bernegara, dibandingkan dengan menggunakan demokrasi. Ana kira ini sudah jelas bagi kita semua, sebagaimana telah di firmankan oleh Allah Swt didalam Kalam-Nya yang Suci “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs Al-Ahzab:36)
Dan sekarang yang menjadi pertanyaan besar yang pertama kepada kita bersama adalah “Lantas bagaimana dengan kondisi saat ini dimana pemerintahan kita menggunakan demokrasi sebagai “baju” pemerintahan dan bukanlah Islam..” apakah yang akan kita lakukan.?
Apakah kita harus “Bergerak” melakukan perubahan? Tentu saja dengan sangat tegas akan ana jawab, Iya. Bangsa ini memiliki mayoritas masyarakat muslim, sehingga sudah seharusnya diatur juga dengan menggunakan aturan-aturan Islam, dan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Islam yang berserah diri kepada Allah Swt, bersungguh-sungguh didalam memperjuangkan nasib rakyatnya, serta memiliki kapasitas keilmuan dan ketaqwaan yang baik disisi Allah Swt. Namun saat ini yang terjadi, bangsa ini dipimpin oleh mereka yang bersikap fobi terhadap Islam, tidak mementingkan apa yang menjadi kebutuhan umat, senantiasa mementingkan kepentingan pribadi, tidak peka terhadap penderitaan rakyat, dll. Apakah alasan-alasan ini masih belum cukup untuk membuat kita bangkit dan bergerak “membebaskan” umat dari keterbelakangan dan ketidakpahaman terhadap hak mereka..?
Maka yang menjadi pertanyaan besar selanjutnya bagi kita saat ini adalah? Bagaimana caranya agar kita dapat memiliki Islam sebagai aturan hidup dan mendapatkan pemimpin yang Islami..? Telah terjadi perbedaan pendapat diantara para pejuang dakwah negeri ini tentang bagaimana cara agar umat islam di negeri ini dapat memperoleh kembali hak-haknya. Untuk merealisasikan agar nilai2 Islam dapat ditanamkan di negara ini, dan untuk merealisasikan agar penerapan hukum bangsa ini sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah Swt, serta untuk merealisasikan kecintaan teradap Allah Swt, maka para tokoh-tokoh Islampun bergerak dan mengambil langkah untuk dapat merealisasikannya. Perbedaan gerak dan sikap pun terjadi dalam perlombaan merealisasikan cita-cita besar umat ini. Ada yang mengambil langkah ekstrim, ada yang mengambil gerakan bawah tanah, namun ada juga yang menggunakan pendekatan diplomatis agar dapat terlaksananya tujuan mulia ini, pilihan manakah yang sebaiknya kita pilih.?
Tentu saja pilihan yang kita ambil ini akan memberikan konsekuensi tanggungjawab kepada kita yang harus turut andil didalam perjuangan ini, serta tidak hanya diam melihat masyarakat yang semakin terpuruk dan tenggelam didalam derasnya banjir nilai-nilai liberal yang melanda bangsa ini.
Keputusan langkah apa yang harus diambil untuk dapat merealisasikan terciptanya nilai-nilai syariah di tanah Indonesia sudah seharusnya diambil dengan melalui pertimbangan-pertimbangan matang, tingkat prioritas masalah, serta disesuaikan dengan kondisi aktual yang ada. Keputusan yang diambil seharusnya dapat memberikan kemanfaatan yang besar dan bisa meminimalkan resiko yang mungkin dapat terjadi. Dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan inilah maka langkah yang paling relevan dan dapat memberikan kontribusi kemanfaatan yang nyata, serta memberikan resiko yang minim adalah dengan memasuki wilayah-wilayah pembuat keputusan, diantaranya adalah Legislatif (Parlemen) dan juga pemerintahan (Eksekutif), karena disanalah nasib umat ini ditentukan, disanalah aturan-aturan yang mengatur kehidupan umat islam bangsa ini dibuat, maka dari itu harus kita rebut dari mereka orang-orang yang anti terhadap islam, meraka yang tidak menyukai bila dakwah ini berkembang, dan kemudian kita serahkan urusan pembuatan keputusan umat kepada mereka yang berilmu dan berungguh-sungguh karena Allah Swt atau dengan istilah ana “Mengislamkan wilayah kekuasaan”. Ketika orang-orang Islam membiarkan dan menjauh dari parlemen, maka sesungguhnya tempat-tempat itu akan diisi oleh orang-orang yang belum tentu keislamannya, maka relakah kita menyerahkan urusan kita kepada mereka yang tidak mengerti.? Sebuah contoh kecil, dulu pembuat UU adalah orang sekuler dan anti terhadap islam, mereka melarang wanita islam untuk berjilbab sesuai dengan tuntunan Islam, namun lihatlah sekarang hasil perjuangan mereka yang berusaha merubah kebijakan di parlemen sana…sudah bisa kita lihat hasilnya sangat banyak perubahan yang bisa kita lihat saat ini, hampir disepanjang jalan, disekolah-sekolah, dikantor-kantor, telah dipenuhi oleh kaum muslimah yang tampak indah dengan gaun taqwanya.
Sebuah konsekuensi berat yang melekat pada keputusan untuk masuk kedaerah pembuat kebijakan (Parlemen), adalah bertemu dengan “Demokrasi”. Seperti sebuah momok yang besar yang harus dihadapi. Namun apabila menggunakan logika demokrasi bukankah demokrasi sendiri yang mengatakan bahwa keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak? Maka dengan memiliki orang-orang yang duduk di Parlemen dengan jumlah suara signifikan, maka Insya Allah, kita bisa membawa umat ini ketujuan yang sesuai dengan aturan Allah Swt. Apakah ada yang akan mengatakan “ah tidak mungkin itu akan terjadi”, maka sesungguhnya tidak seharusnya tidak seperti itu sikap kita, tidak seharusnya kita bersikap pesimis di dalam perjuangan dakwah, seharusnya kita bisa memberikan semangat kepada mereka-mereka kaum muslimin yang telah berijtihad melakukan perbaikan melalui parlemen, seharusnya kita bisa saling bahu-membahu mengantarkan negeri ini dan isinya kepada keridhoan Allah, dan bukanlah sikap saling menjatuhkan dan merendahkan.

Sesungguhnya kata demokrasi selama ini digunakan sebagai istilah yang melariskan (Seperti juga istilah Reformasi), masih akan terasa sulit kalau kita langsung menggunakan istilah2 islam dengan bahasa arab, bukankah yang terpenting adalah substansinya. Maka pekerjaan berat yang harus dilakukan para dai yang mendapatkan amanah di legislatif adalah bagaimana membuat substansi demokrasi seislam mungkin, toh “demokrasi” hanyalah sebuah istilah, sedang yang penting adalah substansi yang diimplementasikan. Lantas apakah kita akan mengatakan bahwa “ah, tu tidak mungkin, bagaimana bisa…”. Pekerjaan “Mengislamkan demokrasi” ini memang bukan pekerjaan yang mudah, namun inilah yang harus dilakukan. Ada tahapan-tahapan yang harus kita lalui untuk dapat memiliki sebuah Negara yang meletakkan Islam sebagai landasan hukum, ada persiapan-persiapan yang harus kita lakukan untuk mencapai kesana, semuanya tidak bisa dicapai secara instant, namun harus melalui proses dan tahapan-tahapan yang seharusnya dipersiapkan. Diantaranya tahapan-tahapan ini : Konsep kenegaraan yang harus disiapkan, proses pembelajaran dan penyadaran masyarakat tentang politik bersih ala islam, menyiapkan ustadz-ustadz yang memiliki kemampuan negarawan, menyiapkan sistem pemerintahan, dan lain sebagainya.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali Imran:159)
Sebagaimana yang telah Allah Swt sampaikan didalam Surat Ali Imran diatas, Maka didalam urusan duniawi, sudah seharusnya kita berkap lemah lembut terhadap mereka kaum muslimin yang masih belum memahami tentang hakikat Islam ini, Seandainya kita bersikap keras hati serta kasar niscaya akan membuat mereka lari dan menghindarkan diri dari dakwah kita, sesungguhnya dakwah ini adalah seruan simpati, seruan yang mengajak dengan hikmah bukan dengan menghakimi, yang mengajak kepada kebenaran dengan kelemahlembutan bukan dengan kekerasan hati, serta Musyawarahkanlah hal ini dengan mereka sebaik-baiknya, sampai Allah Swt mentakdirkan Islam ini tegak dan tiada lagi Fitnah dimuka bumi ini.
Sesungguhnya Ini adalah pekerjaan besar bagi kita, Kerja Bakti yang seharusnya diikuti oleh setiap warga muslim, saling Bantu membantu membersihkan kotoran negative barat dan kekafiran dari lingkungan kampung islam kita, agar keluarga kita, anak-anak kita bisa terbebas dari penyakit-prnyakit sekuler yang mewabah dengan cepat. Bersama-sama memberikan semangat untuk terus bergerak, saling ingat-mengingatkan dalam menapaki langkah-langkah dalam kebenaran. Semoga Allah Tabaraka Wa ta’ala memberikan kepada kita kebersihan hati, menganugrahkan kepada kita ikatan ukhuwah yang kuat diatas aqidah Islam, serta Semoga Allah memberkahi kita didalam setiap aktivitas kita.

Barakallahufiikum.

Al fakir ilallah.

--Tulabi—

Tanah Melayu, 6 Agustus 2006

4 Comments:

At Tuesday, August 15, 2006 9:23:00 AM, Blogger agussyafii said...

Subhanallah tulian bagus sekali, semoga akhi tulabi tetap semangat dalam jihad..

 
At Wednesday, September 06, 2006 4:40:00 PM, Anonymous Anonymous said...

akh tulabi ana punya link bgus tentang tema ini, coba antum buka wesite muslim.or.id pada ktegori demokrasi, semoga sedikit banyak dapat menambah pengetahuan antum tentang hakikat demoraksi.
akhi jadilah kita pengusung kebenaran, ketika kebenaran itu telah tampak jelas dihadapan mata kita, dan bagi seorang muslim ukuran kebenaran berasar dan Al-qur'an dan As-sunnah yang tentunya sesuai dengan pemahamah Salaful Ummah.

akhukum Fillah Adjan

 
At Thursday, September 07, 2006 11:28:00 AM, Blogger FITRA JAYA SALEH said...

Assalamualaikum. jazakumullah khoiran Katsir untuk masukan yang diberikan.. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan kepada kita keberkahan dan rahmat-Nya didalam segala aktivitas kita.

Wallahualambishowab.

---Tulabi---
Batam, 7 Sept 2006.

 
At Wednesday, October 17, 2007 8:10:00 AM, Anonymous Anonymous said...

http://emarwanta.multiply.com/journal/item/11/Demokrasi_memang_kenapa

Saya diskusi dengan teman-teman yg mencaci demokrasi, mempertentangkan demokrasi dg Islam, atau mengadu argumentasi antara demokrasi dengan khilafah. Demokrasi itu haram dan najis, sistem kufur, katanya.



Mereka berpendapat, karena demokrasi itu filosofinya kedaulatan di tangan rakyat, bukan di tangan Allah. Kemudian juga mencela orang-orang yang terlibat dalam demokrasi (pemilu dalam sistem kenegaraan saat ini).



Saya bertanya,”Antum percaya surga? Ingin masuk surga?” (Loh apa hubungannya surga dengan demokrasi?)



Ketahuilah, lanjut saya, terminologi ”surga” itu dari konsep Hindu, yaitu swarga. Kalau merujuk filosofi kata surga ini, tentu sebagaimana konsep Hindu. Ini masalah aqidah, masalah akhirat. Kenapa kita enjoy saja menyebut surga utk jannah? Kenapa tidak dikatakan surga itu kufur?



Kata surga telah menjadi terminologi umum. Orang Hindu menyebut surga dg perspektifnya. Orang Kristen juga demikian. Pun kita orang Islam, menyebut surga dg konsep dan perspektif Islam, sebagaimana jannah dalam Al Qur’an.



Nah, kembali ke masalah demokrasi. Demokrasi itu telah menjadi terminologi umum. Demokrasi merangkum kebebasan berbicara termasuk kebebasan dalam dakwah, keadilan dsb. Ketika kita menuntut demokrasi, bukan hendak menolak kedaulatan Allah. Orang Barat berbicara demokrasi dg konteks nilai yg dianut. Kita bicara demokrasi dalam konteks nilai kita juga. Demokrasi dalam masyarakat yg sholih akankah membuat kesepakatan bathil? Jawabnya jelas: tidak akan.



Saya bukan pengusung demokrasi, juga bukan pengecam demokrasi. Tetapi memadang bahwa demokrasi itu kontekstual, ada bingkai nilai. Demokrasi tdk dibenturkan vis a vis thd Islam.



Kemudian yang juga menarik adalah masalah negara bangsa dan khilafah. Adakah kontradiksi negara bangsa dg Islam? Juga tentang banyaknya persepsi tentang khilafah. Insya Allah di seri selanjutnya.

 

Post a Comment

<< Home