FITRA JAYA SALEH

Blogs, Ternyata menulis itu menyenangkan. Apalagi bisa menulis sesuatu yang bisa memberikan manfaat terhadap diri sendiri dan orang lain. Telah datang perintah membaca kepada umat Islam, perintah yang tidak diturunkan untuk umat-umat sebelumnya..sedangkan menulis adalah salah satu turunan dari kewajiban membaca... "Sampaikanlah walau hanya satu ayat.", begitulah perintah nabi, dan menulis bisa menjadi sebuah sarana yang baik untuk mengaplikasikan perintah untuk menyampaikan... ---Tulabi---

Thursday, June 15, 2006

Tentang Kaidah Ikhwanul Muslimin

Assalamualaikum.

Bismillahitawakaltu alallah,
Tulisan ini dibuat dengan tujuan akan mencoba menjadi penjelasan (Bayyan) tentang kaidah Ikhwanul Muslimin yang telah umum kita dengar, yang berbunyi “Nata’awan fima tafakna wa na’dziru ba’dina ba’don fi makhtalahna” yang berarti “Kita bantu-membantu (bertolong-tolongan) dalam masalah yang kita sepakati, dan bersikap toleran dalam masalah yang kita perselisihkan”. Lalu sebenarnya apakah maksud dari kaidah ini? Dari manakah asalnya? Dan apakah terdapat dalil syara’ yang melandasi kaidah ini.? Kemudian ada pula sebagian orang yang berpendapat “Bukankan kita tidak boleh mentolerir kemaksiatan?”

Maka dibawah ini akan ana coba untuk menguraikan maksud dari kaidah tersebut, dan semoga saja tulisan ini memberikan makna yang positif terhadap pandangan kita semua.

DARI MANAKAH ASALNYA?

Banyak orang sering mengira bahwa kaidah ini pertama kali di ucapkakan oleh Hassan al-Banna, namun sebenarnya kaidah ini munculnya ternyata berasal dari beliau Sayyid Rasyid Ridha, Beliau adalah pemimpin madrasah Salafiyyah al-Haditsah,pemimpin majalah al-Manar al Islamiyyah,pengarang tafsir,fatwa-fatwa, risalah-risalah, dan kitab-kitab yang mempunyai pengaruh besar terhadap dunia Islam.

Dan Kemudian orang yang sangat antusias untuk melaksanakan kaidah ini adalah beliau syeik Hasan al-Banna, Sampai-sampai banyak orang yang mengira bahwa beliau (Hasan al-Banna) lah yang mencetuskannya.

ADAKAH DALIL SYARA”NYA?

Lantas adakah dalil yang menjadi landasam dari kaidah ini? Beliau Sayyid Rasyid Ridha mencetuskan kaidah tersebut tidak sembarang, tetapi didasarkan kepada petunjuk Al-Qur'an, As-Sunnah, bimbingan salaf salih, karena kondisi dan situasi, dan karena kebutuhan umat Islam untuk saling mendukung dan membantu dalam menghadapi musuh mereka yang banyak. Meskipun diantara mereka terjadi perselisihan dalam banyak hal, tetapi mereka bersatu dalam menghadapi musuh. Inilah yang diperingatkan dengan keras oleh Al-Qur'an, yaitu: orang-orang kafir tolong-menolong antara sesama mereka, sementara orang-orang Islam tidak mau saling menolong antara sesamanya. Allah berfirman:

"Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindungbagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidakmelaksanakan apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya akanterjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar." (al Anfal 73)

Makna illaa taf'aluuhu (jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu) ialah: jika kamu tidak saling melindungi dan saling membantu antara sebagian dengan sebagian lain sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir. Jika itu tidak dilakukan, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan yang besar di muka bumi. Sebab, orang-orang kafir itu mempunyai sikap saling membantu, saling mendukung, dan saling melindungi yang sangat kuat diantara sesama mereka, terutama dalam menghadapi kaum muslimin yang berpecah-pecah dan saling merendahkan sesamanya.

Karena itu, tidak ada cara lain bagi orang yang hendak memperbaiki Islam kecuali menyeru umat Islam untuk bersatu padu dan tolong-menolong dalam menghadapi kekuatan-kekuatan musuh Islam.

BOLEHKAH BEKERJASAMA DENGAN MEREKA YANG BERSELISIH PENDAPAT DENGAN KITA?

Kalimat ”Orang yang berselisih pendapat dengan kita” memiliki makna:Orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita karena mereka melakukan Bid’ah, dan Orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita karena mereka Non Muslim.Boleh kah kita bekerja sama dengan mereka?

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Bid’ah itu ada bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada Bid’ah yang bisa mengeluarkan seseorang pelakunya dari Islam, tapi ada juga Bid’ah yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam tetapi hanya menyimpang. Begitu juga dengan Kafir, bahwa kafir itu juga bertingkat-tingkat sebgaimana pendapat yang diriwayatkan oleh para sahabat dan tabi’in.

Pernahkan Rasulullah bekerja sama dengan orang Kafir? Ada beberapa contoh yang dilakukan oleh Rasulullah dengan bekerja sama dengan orang kafir,dengan syarat menguntungkan kaum Muslimin. Pertama, ketika akan melakukan Hijrah, maka orang yang dipilih atau dimintai tolong sebagai penunjuk jalan adalah seseorang yang bukan Muslim. Ataupun ketika sesaat setelah Fathu Mekkah, Rasulullah meminta bantuan dari sebagian musyrik Qurays dalam menghadapi Musyrik Hawazin. Hal itu beliau lakukan karena menurut pandangan beliau bahwa kaum musyrik Quraisy mempunyai hubungan nasab yang khusus dengan beliau. Disamping itu, suku Quraisy termasuk suku yang mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat, sehingga Shafwan bin Umayyah sebelum masuk Islam pernah mengatakan, "Sungguh saya lebih baik dihormati oleh seorang Quraisy daripada dihormati oleh seorang Hawazin."

Kita harus senantiasa mengingat, bahwa kebaikan dan Hidayah adalah milik Islam, Maka dari sinipun kita dapat melihat bahwa tidak ada larangan untuk bekerja sama dengan ahli kafir/ahli bid’ah yang lebih kecil kekafirannya demi menolak bahaya kekafiran yang lebih besar sebagaimana kaidah ”Irtikaabu akhaffidh dhararain" (memilih/ melaksanakan yang lebih ringan mudaratnya).

Bagi ahlussunnah, meski bagaimanapun mereka menolah kebid’ahan suatu golongan, namun tidak ada satu alasanpun untuk tidak memanfaatkan ilmu dan pemikiran yang bermanfaat yang mereka sepakati bersama.

Contoh yang paling jelas ialah kitab Tafsir al-Kasysyaf karya al-Allamah az-Zamakhsyari, seorang Muktazilah yang terkenal.Dapat dikatakan hampir tidak ada seorang alim pun (dari kalangan Ahlus Sunnah) - yang menaruh perhatian terhadap Al-Qur'an dan tafsirnya - yang tidak menggunakan rujukan Tafsir al-Kasysyaf ini, sebagaimana tampak dalam tafsir ar-Razi, an-Nasafi, an-Nisaburi, al-Baidhawi, Abi Su'ud, al-Alusi, dan lainnya.

Begitu pentingnya Tafsir al-Kasysyaf ini (bagi Ahlus-Sunnah) sehingga kita dapati orang-orang seperti al-Hafizh Ibnu Hajar mentakhrij hadits-haditsnya dalam kitab beliau yang berjudul Al-Kaafil asy-Syaaf fi Takhriji Ahaadiits al-Kasysyaaf.Kita jumpai pula al-Allamah Ibnul Munir yang menyusun kitab untuk mengomentari al-Kasysyaf ini, khususnya mengenai masalah-masalah yang diperselisihkan dengan judul al-Intishaaf min al-Kasysyaaf.

Imam Abu Hamid al-Ghazali, ketika menyerang ahli-ahli filsafat yang perkataan-perkataannya menjadi fitnah bagi banyak orang, pernah meminta bantuan kepada semua firqah Islam yang tidak sampai derajat kafir. Karena itu, beliau tidak menganggap sebagai halangan untuk menggunakan produk dan pola pikir Muktazilah dan lainnya yang sekiranya dapat digunakan untuk menggugurkan pendapat/perkataan ahli-ahli filsafat tersebut. Dan mengenai hal ini beliau berkata dalam mukadimah Tahafut al-Falasifah sebagai berikut:

"Hendaklah diketabui bahwa yang dimaksud ialah memberi peringatan kepada orang yang menganggap baik terhadap ahli-ahli filsafat dan mengira bahwa jalan hidup mereka itu bersih dari pertentangan, dengan menjelaskan bentuk-bentuk kesemerawutan (kerancuan) mereka. Karena itu, saya tidak mencampuri mereka untuk menuntut dan mengingkari, bukan menyerukan dan menetapkan perkataan mereka. Maka saya jelekkan keyakinan mereka dan saya tempatkan mereka dengan posisi yang berbeda-beda. Sekali waktu saya nyatakan mereka bermazhab Muktazilah, pada kali lain bermazhab Karamiyah, dan pada kali lain lagi bermazhab Waqifiyah. Saya tidak menetapkannya pada mazhab yang khusus, bahkan saya anggap semua firqah bersekutu untuk menentangnya, karena semua firqah itu kadang-kadang bertentangan dengan paham kita dalam masalah-masalah tafshil (perincian, cabang), sedangkan mereka menentang ushuluddin (pokok-pokok agama). Karena itu, hendaklah kita menentang mereka. Dan ketika menghadapi masalah-masalah berat, hilanglah kedengkian diantara sesama (dalam masalah-masalah kecil/cabang)."

APAKAH BOLEH KITA BERTOLERANSI DALAM HAL YANG KITA SELISIHI?

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, makakembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah)." (an-Nisa': 59)
Sebelum mambahas tentang ini, sebelumnya perlu untuk kita memahami bahwa perbedaan pendapat antara manusia yang satu dengan manusia yang lain adalah sebuah keniscayaan dan sesuatu yang akan senantiasa terjadi, Namun apakah yang harus kita lakukan ketika terjadi perbedaan diantara kita?maka, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Seperti yang telah kita pahami bersama,bahwa nash-nash dalam Islam ada yang bersifat qath’i atau pasti seperti Al-Quran dan Hadits-2 yang Mutawatir diantara para Ulama. Dan ada juga nash yang bersifat Zhanni. Dan pada taraf zhanni inilah derajat hadits ini menjadi bermacam-macam. Ada yang sahih, hasan, shahih lidzatihi dan hasan lidzatihi, serta ada pula yang shahih lighairihi dan hasan lighairihi, sesuai dengan sikap imam-imam dalam mensyaratkan penerimaan dan pentashihan suatu hadits, ditinjau dari segi sanad atau matan, atau keduanya. Karena itu, ada orang yang menerima hadits mursal dan menjadikannya hujjah, ada yang menerimanyadengan syarat-syarat tertentu, dan ada yang menolaknya secara mutlak.

Sehingga Kadang-kadang ada ulama yang menganggap seorang rawi itu dapat dipercaya, tetapi yang lain menganggapnya dhaif. Ada pula yang menentukan beberapa syarat khusus dalam tema-tema tertentu yang dianggap memerlukan banyak jalan periwayatannya, sehingga ia tidak menganggap cukup bila hanya diriwayatkan oleh satu orang. Hal ini menyebabkan sebagian imam menerima sebagian hadits dan melahirkanbeberapa hukum daripadanya, sedangkan imam yang lain menolaknya karena dianggapnya tidak sah dan tidak memenuhi syarat sebagai hadits sahih.

Sekali lagi ikhwah,Dari sini kita akan menyimpulkan, Bahwa Perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang akan senantiasa terjadi, Lalu apakah yang harus kita lakukan ketika terjadi perbedaan diantara kita mengenai agama ini? Kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya. Apakah yang diinginkan Allah dan Rasul-nya?

”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”(Qs.Ali-Imran:103).”Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”(Qs.Ash-Shaff:4) Ini adalah pendapat kami yang kami landaskan kepada dalil-dalil syar’i dan petunjuk dari Rasulullah Saw. Semoga Allah Swt memuliakan Islam melalui pemuda-pemuda-Nya yang senantiasa berjuang dengan hamasah dan jiddiyah. Wallahualambishowab.

---Tulabi---

Maroji' : Al-Quran al-karim.
Beberapa kitab yang ana lupa namanya.

Diskudi lengkapnya disini:
http://myquran.org/forum/index.php/topic,4252.0.html

0 Comments:

Post a Comment

<< Home